Lompat ke konten
Home » Beranda » Kisah Kelam Pengadilan Racun Buat Minem: Dibotaki, Dicat, dan Ditelanjangi

Kisah Kelam Pengadilan Racun Buat Minem: Dibotaki, Dicat, dan Ditelanjangi

Kisah Kelam Pengadilan Racun Buat Minem: Dibotaki, Dicat, dan Ditelanjangi

(Pucungsari, Banjarnegara – 12 Juni 1992)

Kampung Pucungsari, Desa Rakitan, Kecamatan Madukara, Banjarnegara, Jawa Tengah, biasanya dikenal sebagai perkampungan tenang di lereng Bukit Lawe, sekitar 10 km utara kota Banjarnegara. Namun, Jumat sore 12 Juni 1992, ketenangan itu pecah. Ratusan warga mendadak berubah jadi massa beringas yang menyeret seorang janda dan putrinya ke “pengadilan jalanan” tanpa bukti.

Korban itu adalah Ny. Suparjo Minem (55) dan anak perempuannya, Sarni (21). Mereka dituduh meracuni tetangga sendiri, tuduhan keji yang bersumber dari gosip liar.

Awal Tuduhan

Beberapa minggu sebelum peristiwa, seorang warga bernama Hadi Suriyanto alias Hadi Bero (35) jatuh sakit tak lama setelah berkunjung ke rumah Warsiyem, anak sulung Minem. Entah bagaimana, kabar beredar bahwa Hadi sakit karena diracun keluarga Minem. Gosip itu terus membesar, hingga mencapai puncaknya di sore Jumat keramat itu.

Puluhan orang tiba-tiba mengepung rumah Minem. Mereka mendesak agar Minem mengaku telah meracuni Hadi dan menyerahkan sisa racunnya. Dengan tenang namun tegas, Minem menolak.

“Karena saya tidak merasa meracun, apalagi menyimpan racun, permintaan itu saya tolak,” kenang Minem dalam wawancara dengan Tabloid NOVA (28 Juni 1992).

Jawaban itu justru menyulut amarah massa.

Diseret dan Diikat di Pohon

Amukan warga langsung tak terkendali. Minem ditarik keluar rumah, diseret ke halaman, lalu diikat di sebuah pohon cengkih. Saat itu ia dan Sarni sebenarnya tengah sibuk memilah biji melinjo. Namun Sarni yang mencoba membela ibunya justru ikut diseret.

“Bunuh! Bunuh!” teriak massa yang semakin banyak berdatangan.

Kedua perempuan itu diikat dengan tali plastik. Pakaiannya dilucuti, lalu ikatan diperkuat dengan stagen. Sambil menjerit, Sarni hanya bisa mendekap ibunya yang juga tak kuasa melawan.

Rumah Dirusak, Tubuh Dicet

Tak hanya menyeret Minem dan Sarni, massa mengacak-acak rumah mereka. Dari kandang kambing hingga tempat tidur, semua dibongkar. Dinding rumah bahkan dicorat-coret dengan gambar tengkorak—simbol tuduhan “pembunuh” yang ditempelkan tanpa dasar.

Penderitaan Minem dan Sarni belum berhenti. Rambut panjang Minem—yang biasa terurai hingga sebatas paha—dipangkas habis. Begitu pula rambut Sarni. Tak cukup itu, tubuh keduanya dicat merah, diperlakukan seolah bukan manusia.

“Rambut saya tadinya panjang. Tapi sekarang habis, dipangkas,” kata Minem lirih, sembari menutup kepala dengan mukena hitam.

Keluarga Tak Berdaya

Saat kejadian, empat anak Minem lain ada di rumah. Sukirman (28), putra sulungnya, hanya bisa melarikan diri bersama dua adiknya yang masih kecil. Mereka ketakutan menyaksikan amukan warga. Hanya Sarni yang bertahan, dan justru menjadi korban bersama sang ibu.

Trauma yang Mengendap

Beberapa hari kemudian, Minem masih tampak linglung. Wajahnya penuh duka, matanya nanar setiap kali mengingat malam kelam itu.

“Mereka memperlakukan kami bukan sebagai manusia lagi,” ucapnya getir.

Peristiwa Pucungsari ini segera jadi sorotan nasional. Banyak media meliputnya. Bukan karena kampung itu meraih prestasi, melainkan karena mencatat salah satu bentuk trial by mob—pengadilan oleh massa—yang meninggalkan trauma panjang.

Penanganan Kasus

Peristiwa 12 Juni 1992 itu tidak hanya jadi pembicaraan warga Pucungsari, tapi juga menyebar cepat ke Banjarnegara dan sekitarnya. Berita di media massa membuat pihak kepolisian turun tangan.

Polisi mendatangi lokasi untuk melakukan penyelidikan. Namun, seperti lazimnya kasus main hakim sendiri pada masa itu, proses hukum berjalan lambat. Ratusan orang terlibat, sehingga sulit untuk menunjuk pelaku utama. Mayoritas warga yang hadir saling berlindung di balik kerumunan.

Meski demikian, aparat tetap mendata dan memanggil sejumlah saksi. Beberapa tokoh kampung yang dianggap memprovokasi kerumunan sempat diperiksa. Namun, belum ada catatan jelas bahwa mereka dijatuhi hukuman berat. Peristiwa ini lebih sering digambarkan sebagai “aib kampung” ketimbang tindak pidana yang harus diproses tegas.

Kondisi Minem dan Sarni Pasca-Kejadian

Setelah kejadian, Minem dan Sarni memilih hidup tertutup. Rumah mereka tetap berdiri, tapi dalam keadaan rusak parah. Mereka jarang keluar rumah kecuali untuk kebutuhan mendesak.

Minem kerap menutupi kepalanya dengan mukena hitam. Ia trauma dengan tatapan orang-orang yang dulu ikut menghinanya. Rambut panjang yang pernah jadi kebanggaannya tak bisa kembali dalam waktu singkat.

Sarni, yang saat itu masih muda, mengalami luka batin mendalam. Ia merasa terasing di tanah kelahirannya sendiri. Desas-desus di kampung tak serta-merta hilang, meski tak pernah ada bukti bahwa ia dan ibunya meracuni tetangga.

Reaksi Masyarakat Luas

Di luar Pucungsari, peristiwa ini mengejutkan publik. Tabloid NOVA edisi 28 Juni 1992 mengangkat kisah pilu Minem sebagai laporan utama. Media lain pun menyoroti bagaimana gosip bisa melahirkan kekerasan brutal yang menghancurkan martabat seseorang.

Kasus Minem dan Sarni jadi pelajaran tentang bahaya fitnah di tengah masyarakat desa, di mana kabar burung bisa lebih kuat daripada fakta.

Warisan Kelam

Hingga kini, peristiwa Pucungsari 1992 masih tercatat sebagai salah satu tragedi main hakim sendiri paling memilukan di Jawa Tengah. Ia menjadi pengingat bahwa gosip yang dibiarkan tanpa klarifikasi, ditambah mental massa yang gampang tersulut, bisa berujung pada pelanggaran kemanusiaan.

“Semua orang bisa jadi korban. Kami sudah merasakannya. Semoga tidak ada lagi yang mengalami seperti kami,” ucap Minem kala itu.

Kronologi Peristiwa Fitnah Racun Pucungsari – 12 Juni 1992

Pagi – Siang

  • Kampung Pucungsari, Desa Rakitan, masih terlihat normal. Minem (55) dan anaknya Sarni (21) beraktivitas seperti biasa di rumah.

  • Warga ramai memperbincangkan sakitnya seorang tetangga, Hadi Suriyanto alias Hadi Bero (35), yang beberapa minggu sebelumnya jatuh sakit usai pulang dari rumah Warsiyem, anak sulung Minem. Dari gosip inilah muncul isu “keracunan”.

Menjelang Sore (sekitar pukul 15.00 WIB)

  • Puluhan warga mulai berdatangan ke rumah Minem. Mereka menuduh Minem dan Sarni telah meracuni Hadi.

  • Tuntutan muncul agar Minem mengaku dan menyerahkan “sisa racun”. Minem menolak dengan tegas karena memang tidak merasa bersalah.

Sore (sekitar pukul 16.00 WIB)

  • Suasana memanas. Warga semakin banyak berdatangan. Teriakan “Bunuh! Bakar!” terdengar.

  • Minem diseret keluar, diikat ke pohon cengkih di halaman rumah. Sarni yang mencoba membela ibunya juga ikut diseret dan diikat dengan tali plastik.

Petang (sekitar pukul 17.00–18.00 WIB)

  • Massa makin brutal.

    • Pakaian Minem dan Sarni dicopot.

    • Rambut keduanya digunduli.

    • Tubuh mereka dicat merah.

  • Rumah Minem diobrak-abrik, dari kandang kambing hingga perabotan habis dirusak.

  • Dinding rumah dicorat-coret dengan gambar tengkorak.

Malam (sekitar pukul 19.00 WIB ke atas)

  • Massa masih bertahan, sebagian mendesak agar keduanya diarak keliling kampung.

  • Anak-anak Minem yang lain berhasil melarikan diri karena takut.

  • Situasi baru mereda setelah beberapa tokoh masyarakat mencoba menenangkan kerumunan.

Hari-hari Setelah Kejadian

  • Minem dan Sarni mengalami trauma berat. Minem menutupi kepalanya dengan mukena hitam karena rambutnya habis dicukur.

  • Polisi mulai menyelidiki, namun sulit menentukan pelaku utama karena ratusan orang terlibat.

  • Peristiwa ini kemudian dilaporkan media, salah satunya Tabloid NOVA edisi 28 Juni 1992.

Tinggalkan Balasan