Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan skema co-payment sebesar 10 persen bagi peserta asuransi kesehatan swasta mulai 1 Januari 2026. Kebijakan ini bertujuan menekan laju inflasi medis yang terus meningkat, sekaligus mengendalikan lonjakan premi asuransi.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menjelaskan bahwa inflasi medis di Indonesia pada 2024 mencapai 10,1 persen—jauh di atas rata-rata global sebesar 6,5 persen. Angka ini bahkan diperkirakan naik menjadi 13,6 persen pada 2025.
“Biaya layanan kesehatan terus meningkat seiring inflasi. Tanpa intervensi, beban klaim dan premi akan makin tinggi,” ujar Ogi dalam diskusi dengan media di Jakarta, Kamis (12/6).
Kenaikan inflasi medis turut berdampak pada meningkatnya total klaim asuransi kesehatan. Pada 2024, klaim mencapai Rp 28,62 triliun, naik 11,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Premi yang terkumpul juga melonjak, mencapai Rp 18,43 triliun hingga April 2025, naik 22,5 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Rata-rata premi yang dibayarkan pemegang polis pun ikut naik, dari Rp 940 ribu per April 2024 menjadi Rp 1,09 juta pada April 2025. Sebagai perbandingan, pada 2021 angkanya hanya sekitar Rp 690 ribu.
Ogi menyoroti praktik over-utilization atau penggunaan layanan dan obat-obatan secara berlebihan sebagai salah satu penyebab utama lonjakan klaim. “Banyak klaim yang sebetulnya tidak perlu. Ini yang mendorong pembengkakan biaya,” jelasnya.
Melalui skema co-payment, peserta akan menanggung 10 persen dari biaya klaim—dengan batas maksimal Rp 300.000 untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap—sesuai dengan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025.
Ogi menambahkan, skema ini diharapkan dapat membuat peserta lebih bijak dalam memanfaatkan layanan kesehatan, serta menekan lonjakan premi di masa mendatang. “Dengan co-payment, premi tak akan naik setinggi jika semuanya ditanggung penuh oleh asuransi,” ujarnya.