Oleh: M. Faizzi Ardhitara
Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Ikatan Wartawan Online (IWO) Provinsi Lampung
BANDAR LAMPUNG kembali diterjang banjir, dan sayangnya, peristiwa ini bukanlah kejutan. Hujan deras hanya menjadi pemicu kecil dari kerusakan yang jauh lebih besar: tata ruang yang kacau, lemahnya penegakan hukum, dan kebijakan yang membiarkan pelanggaran ruang hidup terjadi selama bertahun-tahun. Tiga nyawa melayang di Kecamatan Panjang, dan ribuan lainnya terus hidup dalam ketakutan setiap kali awan menggantung hitam di langit.
Data dari BPBD Provinsi Lampung menunjukkan, sepanjang 2024 telah terjadi 11 banjir besar di wilayah Kota Bandar Lampung. Bahkan pada Januari 2025, dua wilayah terdampak paling parah hingga menimbulkan korban jiwa. Sampai pada April 2025, tiga tempat terdampak paling parah adalah wilayah Kampung Bayur, Labuhanratu, dan Tanjungsenang. Peristiwa ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah kota, namun yang terdengar justru kebisingan program yang tak kunjung berjalan. Ini bukan semata karena curah hujan tinggi, melainkan karena kerusakan sistem drainase yang tidak pernah diperbarui sejak era 1980-an.
Yang membuat situasi ini lebih menyakitkan adalah bahwa semua pihak sebenarnya tahu akar masalahnya, yakni: tata kota yang buruk, alih fungsi lahan yang liar, buruknya pengelolaan sampah, dan drainase yang tak memadai. Tapi pengetahuan tanpa tindakan hanyalah bentuk lain dari pengabaian. Pemerintah Kota Bandar Lampung terus berbicara tentang “normalisasi sungai”, “ruang terbuka hijau”, “sumur resapan”, dan seabrek jargon teknokratik lainnya. Namun menurut Manager Advokasi dan Kajian Mitra Bentala, Mashabi, yang terjadi di lapangan hanyalah parade penerbitan regulasi tanpa implementasi yang serius.