[Opini] Banjir Bandar Lampung: Bencana Kebijakan yang Direstui Pelanggaran Struktural

Contohnya, Peraturan Wali Kota tentang penanggulangan banjir hanya menjadi dokumen legal yang tak pernah benar-benar diterjemahkan dalam bentuk proyek nyata. Bahkan warga di beberapa kawasan seperti Rajabasa, Sukarame, dan Kedamaian, melaporkan bahwa sungai dan drainase di lingkungan mereka tak pernah dibersihkan atau diperluas sejak dibangun puluhan tahun lalu. Apakah ini karena ketidakmampuan anggaran, atau sekadar ketidakpedulian?
WALHI Lampung menyebut 70% saluran drainase saat ini tersumbat dan tidak lagi mampu menampung limpasan air dari kawasan permukiman yang semakin padat. Yang lebih mengkhawatirkan, tidak ada rencana sistematis pemerintah untuk memodernisasi infrastruktur ini. Alih-alih memperbaiki, pemerintah malah sibuk menyusun ulang program-program penanggulangan banjir yang terus berputar di retorika.

Selama satu dekade terakhir, lebih dari 420 hektare lahan resapan di Kota Bandar Lampung dikonversi menjadi kawasan permukiman dan komersial. Ini melanggar prinsip-prinsip dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menekankan pentingnya mempertahankan ruang terbuka hijau minimal 30% dari total luas kota.

Namun justru yang terjadi adalah “pemutihan” pelanggaran. RTRW Kota Bandar Lampung direvisi untuk mengakomodasi kepentingan investor dan pengembang, bukan demi keselamatan ekologis warga. Ironisnya, Peraturan Wali Kota tentang penanggulangan banjir dan perlindungan kawasan sempadan sungai yang sudah ada pun tidak dijalankan. Pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh Satpol PP dan Dinas Tata Kota, faktanya mandul.

Way Lunik, Way Keteguhan, dan Way Kandis adalah urat nadi pengendali banjir alami di Bandar Lampung. Namun hasil studi Balai Wilayah Sungai Mesuji Sekampung (2023) menunjukkan sungai-sungai ini mengalami penyempitan hingga 40% dan pendangkalan lebih dari 1,5 meter akibat sedimentasi dan bangunan liar.

Tinggalkan Balasan